Minggu, 19 November 2017

Penghargaan Dalam Dunia Pendidikan

Penghargaan Dalam Dunia Pendidikan


  • Pengertian penghargaan
Penghargaan adalah salah satu alat pendidikan. Jadi, maksud dari Penghargaan (Reward) ialah sebagai alat untuk mendidik supaya anak merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya mendapatkan penghargaan. Dengan demikian anak akan lebih keras lagi kemauannya untuk bekerja atau berbuat yang lebih baik lagi.

Defenisi lain dikemukakan oleh Ramayulis bahwa penghargaan adalah suatu yang menyenangkan yang dijadikan hadiah bagi anak yang berprestasi baik dalam belajar ataupun sikap prilaku. Yang terpenting dalam penghargaan (Reward) adalah hasil yang dicapai oleh anak, dan dengan hasil tersebut pendidikan dapat membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak tersebut. Dengan kata lain, penghargaan merupakan tindakan dari pendidik yang berfungsi memperkuat penguasaan tujuan pendidikan.

Dalam pemberian penghargaan, ada penguatan yang diberikan pendidik kepada siswa. Melalui ketrampilan dasar mengajar dalam bentuk ketrampilan verbal dan non verbal. Penguatan verbal adalah penguatan yang diungkapkan dengan kata-kata, baik kata-kata pujian dan penghargaan atau kata-kata koreksi.

Misalnya kata-kata benar, bagus, baik, tepat dan lain sebagainya. Sedangkan ketrampilan non verbal adalah penguatan yang diberikan pendidik melalui ungkapan atau melalui bahasa isyarat. Seperti anggukan kepala, jempol dan lain sebagainya. Melalui kata-kata itu maka siswa akan merasa puas dan tersanjung dan berbesar hati.

Penghargaan yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik secar tepat dan bijaksana akan mampu membuat sikap toleransi dan saling menghargai kepada peserta didik. Penghargaan juga mampu mempererat ikatan antara pendidik dengan peserta didik. Oleh sebab itu, guru dituntut mampu melaksanakan ketrampilan-ketrampilan mengajar dengan baik dan tepat.

Penghargaan harus diberikan pada saat yang tepat, yaitu segera sesudah anak didik berhasil (jangan ditunda), jangan diberikan janji, karena akan dijadikan sebagai tujuan kegiatan. Seorang pendidik juga harus menyesuaikan dengan perbuatan-perbuatan atau pekerjaan anak didik. Jangan sampai menebalkan sifat materialis pada anak didik, kemudian pendidik juga harus menghilangkan anggapan anak didik terhadap upah atau balas jasa atas perbuatan yang dilakukan.

Dalam buku teori kepribadiannya Syamsu Yusuf dkk mengatakan bahwa penghargaan dari orang lain seperti pengakuan, perhatian akan mampu menimbulkan rasa percaya diri akan kemampuan dan penampilannya, menjadi lebih kompeten dan produktif dalam semua aspek kehidupan.

  • Macam-macam Penghargaan
Untuk memeberikan penghargaan kepada anak didik merupakan suatu hal yang sangat sulit. satu yang terpenting bahwa pemberian penghargaan tidak mesti selalu berwujud barang. Anggukan kepala dengan wajah berseri, menunjukkan jempol pendidik, sudah merupakan suatu penghargaan atau hadiah.

Drs. M. Ngalim Purwanto MP. Menjelaskan macam-macam penghargaan yang dapat diberikan oleh pendidik dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Guru mengangguk-angguk karena senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan seorang anak 
b) Guru memberikan kata-kata menggembirakan (pujian)
c) Pekerjaan dapat juga menjadi suatu ganjaran
d) Benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak

  • Bentuk-bentuk Penghargaan
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. mengemukakan beberapa macam bentuk atau contoh sikap dan prilaku pendidik dalam memberikan penghargaan kepada anak didik yaitu:

a) Bentuk gestural: Guru yang mengagukkan kepala sebagai tanda senang dan memebenarkan suatu sikap, prilaku, atau perbuatan anak didik 
b) Verbal: Guru memberikan kata-kata yang menyenangkan berupa pujian kepada anak didik 
c) Pekerjaan: Guru memeberikan tugas yang sedikit sulit kepada seorang peserta didik, karena guru menganggap peserta didik tersebut mampu mengerjakannya 
d) Material: Berupa benda-benda yang menyenangkan yang berguna bagi anak didik. Misalnya, pensil, buku tulis, dan lain sebagainya 
e) Dalam bentuk kegiatan: Pendidik memberikan penghargaan dalam bentuk tour kependidikan ketempat-tempat tertentu kepada semua anak didik dlam satu kelas.

  • Syarat-syarat Penghargaan
Jika kita perhatikan, dari uraian diatas tentang pengertian penghargaan dan beberapa bentuk atau contoh pengharagaan yang diberikan pendidik kepada anak didik. Ternyata memeberikan penghargaan bukan hal yang mudah. Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pendidik yaitu:

a) Untuk memberikan penghargaan yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betul-betul muridnya dan tau menghargai dengan cepat. 
b) Penghargaan yang diberikan kepada seorang anak hendaknya tidak menimbulkan kecemburuan bagi siswa lain, karena dia merasa pekerjaannya juga baik, tetapi tidak mendapatkan penghargaan 
c) Memberikan penghargaan hendaknya hemat
d) Jangan memberikan penghargaan dengan menjanjikan terlebih dahulu sebelum anak-anak menunjukkan prestasi kerjanya apalagi penghargaan yang diberikan kepada seluruh siswa di kelas 
e) Pendidik harus hati-hati dalam memberikan penghargaan, jangan sampai enak menganggap bahwa penghargaan yang diberikan kepada dia adalah sebagai upah dari jerih payah yang telah dilakukannya

  • Perlunya Penghargaan Bagi Siswa
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia, atau mengantarkan anak didik untuk dapat menemukan jati dirinya. Memanusiakan manusia berarti ingin menempatkan manusia sesuai proporsi dan hakikat kemanusiaannya. Sehingga manusia mampu menemukan jati dirinya. Artinya, agar setiap individu manusia itu menyadari dan memahami "siapa dia", "mengapa dia diadakan di dunia ini" dan "harus ke mana".

Namun kini banyak kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan belum begitu menguasai tujuan pendidikan di atas. Terutama bagaimana pendidik (guru) menghargai anak didiknya, baik dalam hal memberikan pujian maupun penghargaan. Bisa kita amati, pendidikan di Indonesia layaknya pabrik ayam yang memproduksi telur. Pabrik tersebut akan berusaha memproduksi telur dari ayam dengan berbagai cara. Dan setelah ayam bertelur, maka telur akan dijual demi meraih keuntungan.

Memang tidak ada bedanya antara pendidikan di Indonesia dengan pabrik ayam yang memproduksi telur. Terutama ketika dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai ajang kompetisi dan ujian nasional (UN). Guru-guru dengan menggunakan metode drill seakan memaksa para siswa belajar agar ketika mengikuti kompetisi mendapatkan kemenangan dan ketika ujian nasional mendapatkan kelulusan. Dan ternyata, di balik kemenangan dan kelulusan tersebut, tak jarang para guru menjadikan peristwa kemenangan itu sebagai jalan untuk meraih sertifikasi dan kenaikan pangkat.

Para siswa yang memenangkan kompetisi dan mendapatkan kelulusan tidak mendapatkan penghargaan yang layak, meski mereka telah membawa nama baik lembaga pendidikan dan guru-gurunya. Tak jarang, beberapa guru malah membanggakan diri sendiri, karena menganggap hasil tersebut berkat kemampuannya melatih dan mendidik.

Seakan para pendidik tidak menghiraukan bagaimana perasaan para siswa yang mengikuti kompetisi dan ujian nasional yang penuh ketegangan dan kecemasan. Tegang dan cemas bila ternyata gagal dan hanya mendapatkan amarah dan mungkin cacian dari guru-gurunya yang menganggap bahwa mereka tidak melaksanakan instruksi sebagaimana mestinya.

  • Pentingnya Penghargaan 
Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulum ad-din menulis, "Jika pada seseorang anak menonjol akhlak baik dan perbuatan terpujinya, maka ia patut dimuliakan, digembirakan dan dipuji di depan orang banyak untuk memberikan semangat berakhlak mulia dan berbuat terpuji." Memuliakan anak dan memberi semangat dengan hadiah atau dengan ucapan yang manis sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, "Saling memberi hadiahlah agar kalian saling mencintai."

Karakter setiap manusia, terutama anak (peserta didik), pasti lebih menyukai mendapat penghargaan yang sifatnya berwujud maupun tidak berwujud. Dan ia pun akan berusaha keras mendapatkannya. Karena itu, seorang guru hendaknya merespons apa yang disukai seorang anak. Guru harus bisa memberikan hadiah-hadiah tersebut pada kesempatan yang tepat.

Seorang siswa yang rajin, berakhlak baik, dan yang dapat menjalankan kewajiban, layak memperoleh hadiah dari gurunya. Kala itulah, anak itu akan menemukan jiwanya senang menerima itu di hadapan teman-temannya. Sebab, pada usia pelajar, jiwa seorang anak lebih dipenuhi insting suka memiliki (Muhammad Jameel Zeero, Nida' ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal: 95).

Pujian sebagai bentuk penghargaan merupakan salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada murid sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya. Secara didaktis, pujian atau penghargaan beserta segala macamnya, menurut al-Ghazali, telah menjadi anutan para pakar pendidikan di zamannya.

Menurut istilah didaktik, pujian atau penghargaan merupakan "fungsi reinforcement" atau fungsi penguatan yang lebih mendorong pada anak untuk semakin meningkatkan prestasi yang pernah diraihnya (Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal: 86).

"The reward of a thing well done is to have done it" (Ralph Waldo Emerson, penyair dan filsuf Amerika). "Penghargaan bagi sesuatu yang dilakukan dengan baik ialah telah melakukannya. Sehingga, dengan adanya penghargaan, dalam hal ini pujian, merupakan salah satu alat pendidikan kuratif yang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa.

Maka, tidak salah bila pujian yang merupakan penghargaan menjadi salah satu bentuk alat pendidikan yang mampu memberikan motivasi belajar bagi siswa. Manakala seorang siswa mendapatkan penghargaan karena dia berprestasi, tentu semangat belajarnya pun akan meningkat, karena keinginan untuk mempertahankan dan menaikkan prestasi belajarnya. Motivasi belajar siswa akan meningkat ketika prestasi dan kerja keras untuk mencapai kesuksesan belajar itu diiringi penghargaan dan apresiasi yang baik.

Karena itu, pemberian penghargaan berupa pujian berperan sangat signifikan dalam upaya peningkatan motivasi belajar demi tercapainya keberhasilan pendidikan. Dan hal itu akan memberikan semangat bagi anak terhadap pekerjaan dan prestasi baik yang telah dilakukannya. Dengan begitu, siswa akan bertambah semangat lagi meningkatkan prestasinya dan termotivasi untuk mempertahankannya.

  • Peran Guru 
Dalam pelaksanaan pendidikan, tiap anak memiliki motivasi (dorongan/alasan) untuk melaksanakan kegiatan. Dalam pendidikan, motivasi yang kuat memudahkan pencapaian tujuan, karena motivasi yang kuat ini melahirkan usaha aktivitas dan minat yang benar dalam mencapai tujuan itu. Motivasi adalah dorongan yang sangat menentukan tingkah laku dan perbuatan manusia. Ia menjadi kunci utama dalam menafsirkan dan melahirkan perbuatan manusia. 

Peran yang demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut sebagai niyyah dan ibadah. Niyyahmerupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal. Sementara ibadah adalah tujuan manusia berbuat atau beramal. Maka, perbuatan manusia berada pada lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan bahwa perbuatan sangat ditentukan oleh niyyah.

Peran guru sangat penting dalam mengarahkan dan menjelaskan kepada siswa tentang fungsi dan tujuan adanya penghargaan tersebut. Jangan sampai para siswa dalam menuntut ilmu hanya mengharapkan penghargaan. Penghargaan hanya seperti jembatan: hanya untuk menyeberang menuju tujuan. Dengan begitu, siswa akan paham bahwa yang terpenting adalah bagaimana mereka belajar dengan lebih baik tanpa pamrih.

**Referensi:
- http://repository.uin-suska.ac.id/4514/3/BAB%20II.pdf
- http://abuenadlir.blogspot.co.id/2012/12/perlunya-penghargaan-bagi-siswa.html

Pendidikan Finlandia & Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan Finlandia & Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara


Sistem pendidikan di Finlandia terkenal sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Uniknya, meski pemerintah Finlandia tak mengenal Ki Hadjar Dewantara, terdapat kesamaan antara konsep pendidikan di Finlandia dengan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu.

“Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi”

Dua tahun silam, dalam pidatonya yang bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memaparkan adanya kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan yang diusung Ki Hadjar Dewantara. 

Ia menuturkan, kesamaan pertama merujuk pada kebijakan pemerintah Finlandia untuk menempatkan standarisasi pendidikan secara proporsional. Konsep ini sama dengan buah pikiran Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Pusara” (1940) yang menyatakan: “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.”

Masih merujuk pada buku yang sama, Pusara (1940), terlihat kesamaan lain konsep pendidikan Finlandia dengan Ki Hadjar Dewantara. Pemerintah Finlandia yang menekankan pengaruh besar kesetaraan pada kinerja pendidikan rasanya akan “mengangguk” dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara berikut ini: “Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya.”

Sekitar 78 tahun yang lalu, dalam buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara berpendapat “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung’, atau sebaliknya”. Konsep yang sama jika merujuk pada pandangan pemerintah Finlandia yang menganggap standarisasi kaku dan berlebihan merupakan musuh kreativitas.

Kesamaan yang terakhir muncul dalam Mimbar Indonesia (1948) saat Ki Hadjar Dewantara menganggap “Bermain adalah untutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani”. Secara singkat, Finlandia juga selalu menekankan bahwa anak harus bermain.

Fakta-fakta kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan Ki Hadjar Dewantara inilah yang membuat Anies Baswedan berujar: “Ironis ketika negara lain menerapkan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu dan sukses meningkatkan kinerja pendidikan mereka... saat kita sendiri semakin terasing dari pemikiran-pemikirannya”.

**Referensi:
- http://intisari.grid.id/Unique/Others/Ajaran-Ki-Hadjar-Dewantara-Diadopsi-Finlandia
- http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/05/kesamaan-konsep-pendidikan-finlandia-dan-ki-hadjar-dewantara

Mengenal Sistem Pendidikan di Finlandia

Mengenal Sistem Pendidikan di Finlandia



Pendidikan di Finlandia dikenal sebagai sistem pendidikan terbaik di seluruh dunia. Sejak hasil ujian internasional Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) keluar pada tahun 2000, Finlandia mendapat perhatian khusus dari seluruh dunia. Remaja Finlandia berhasil menempati peringkat pertama bersama dengan Korea Selatan dan Jepang. Pada hasil tersebut, Finlandia menempati peringkat pertama di Literasi Membaca, keempat di Matematika, dan ketiga di Ilmu Alam. Pendidikan berkualitas tersebut bergantung banyak pada kualitas jajaran pendidiknya yang diberikan kebebasan penuh dalam meramu kurikulum dan menentukan metode dan materi belajar-mengajar. Keberhasilan tersebut telah menarik sekitar 100 delegasi dari 40-45 negara di seluruh dunia untuk mengunjungi Kementerian Pendidikan Finlandia pada masa 2005-2011 dan mempelajari kunci sukses sistem pendidikan disana. Finlandia juga telah melakukan ekspor sistem pendidikannya ke negara-negara lain.

Sistem pendidikan di Finlandia tidak memberlakukan pemeringkatan institusi pendidikan dan merupakan sistem inklusif dimana semua siswa dianggap setara dalam haknya untuk mendapatkan pendidikan. Karenanya, tidak ada pembagian kelas menurut kompetensi akademis maupun bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tahun pelajaran sekolah dimulai pada bulan Agustus dan berakhir di bulan Juni dengan total 190 hari sekolah. Murid bersekolah lima hari dalam seminggu dengan jumlah pelajaran berkisar antara 19-30 per minggunya, tergantung dari tingkat pembelajaran serta jumlah kelas pilihan yang diambil.

Pemerintah Finlandia memastikan semua warga negara mendapat hak mendapatkan pendidikan yang sama. Mayoritas sekolah di Finlandia adalah sekolah negeri. Sekolah swastatidak banyak berbeda secara kualitas dan proses belajar-mengajarnya dibandingkan dengan sekolah negeri. Kementerian Pendidikan Finlandia bertanggung jawab dalam meramu kerangka kebijakan sistem dan implementasi kependidikan di Finlandia, sedangkan implementasinya sendiri merupakan tanggung jawab dari Agensi Kependidikan Nasional Finlandia. Kedua institusi tersebut bekerja sama dalam meramu tujuan pembelajaran, serta isi dan metode pembelajaran untuk tingkat prasekolah hingga menengah atas dan pendidikan andragogi. Administrasi setiap sekolah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah yang menentukan alokasi dana, kurikulum lokal, dan perekrutan staf pendidikan. Pemerintah daerah diperbolehkan untuk mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke masing-masing sekolah.

Kesuksesan Pendidikan di Finlandia

Selama ini masyarakat Indonesia cukup banyak membaca dan melihat berita mengenai nyamannya bersekolah di Finlandia. Apa bedanya sekolah di Indonesia dengan di negara kecil tersebut?

Begitu banyak ulasan di Facebook atau Youtube mengenai Finlandia. Beberapa dari kita mungkin juga penasaran, apakah benar di sana murid-murid tidak diberi PR, dan tidak ada ujian? Apa benar murid-murid di Finlandia tidak dibiarkan menghafal? Kalau benar, pasti menyenangkan sekali. Bukan begitu? Tak heran, banyak yang penasaran tentang pendidikan di negara kecil jumlah total penduduk tak lebih dari 6 juta orang tersebut. Siswa-siswa Finlandia selalu memperoleh peringkat atas pada tes PISA atau Programme for International Student Assessment.

Dipikir-pikir, apa mungkin negara dengan jumlah penduduk separuh Jakarta ini bisa memiliki kualitas pendidikan tingkat dunia? Apalagi, negara ini tidak seagresif negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, atau Singapura misalnya, yang menyetel pendidikan mereka menjadi lebih cepat.

Di Indonesia, rasa penasaran terhadap pendidikan di negara nordik ini mengemuka kembali. Ini terjadi terutama setelah muncul muncul gagasan untuk memberlakukan sistem full day school dalam sistem pendidikan nasional. Gagasan yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sejak awal 2016 dan sempat mendapat "lampu hijau" dari Presiden Joko Widodo) itu mendapat bermacam respon penolakan. Sebagian besar mempertanyakan seberapa jauh durasi sekolah formal mampu berbanding lurus dengan kualitas pemahaman siswa. Ada yang mengatakan hal ini justru akan membebani siswa, keluarga, bahkan guru. Tak ayal, banyak juga yang membandingkan dengan sistem pendidikan di negara-negara lain. Dari situlah, orang merujuk pada segala yang terjadi di Finlandia.

Apa yang sesungguhnya terjadi di Finlandia barangkali bisa memberi pencerahan. Timothy D. Walker, dalam buku terbarunya "Teach Like Finland" atau Mengajar seperti Finlandia membocorkan beberapa kunci dan strategi sederhana tentang pendidikan di Finlandia. Timothy atau akrab disapa Tim menulis buku ini berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai mantan guru di AS yang mengajar di sebuah sekolah dasar di Finlandia. Tim menemukan beberapa kesimpulan.

Pertama, pendidikan di Finlandia sangat memperhatikan kesejahteraan (well-being), baik itu murid maupun guru.

"Di hari-hari pertama mengajar, saya menghabiskan waktu istirahat untuk mengecek materi pengajaran saya atau mengecek email, seperti yang biasa saya lakukan di AS. Sementara itu, guru-guru Finlandia malah bersantai di ruang guru sambil ngopi," tulis Tim. 

Tidak berapa lama, seorang guru mendatangi Tim dan mengajaknya bergabung, sambil berkata, "Saya sangat khawatir dengan kesehatan Anda. Apakah Anda tertekan, ingat Anda adalah tuan atas pekerjaan, jangan sampai diperbudak oleh pekerjaan."

Tim melihat itu sebagai salah satu paradigma yang sangat positif. Pendidikan di Finlandia memperhatikan dengan sungguh, kesejahteraan, baik fisik maupun batin setiap individu. Ini tampak pula dalam kebijakan bagi para siswa. Siswa di Finlandia gemar memanfaatkan waktu rehat untuk bermain dan berkejar-kejaran, bahkan tiap sekolah menyediakan alat bermain. Para siswa juga diminta untuk bergabung di sebuah klub minat dan bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya. Ini sangat memungkinkan sebab total jam sekolah rata-rata hanya 18 jam per minggunya.

Adakah PR di Finlandia? Sepertinya itu adalah mitos yang telanjur populer, dan sayangnya, menurut Tim, itu tidak benar. Para siswa tetap mendapatkan PR, namun diberikan dengan sangat memperhitungkan tingkat kesulitannya. Para guru memberikan PR yang tidak berat, bahkan rata-rata dapat dikerjakan dalam waktu 30 menit saja. Intinya, mereka ingin para siswa benar-benar mendapatkan istirahat yang cukup sepulang sekolah, dan dapat melanjutkan aktivitas yang lain.

Selain itu, Tim juga melihat bahwa para siswa rata-rata mandiri. Sekolah dan masyarakat Finlandia bekerja sama untuk mengupayakan siswa-siswa yang mandiri. Percayalah, Anda akan terkaget-kaget melihat siswa SD yang pergi-pulang sekolah sendirian, naik bus atau kereta. Dari semangat mandiri itulah para siswa terbiasa untuk berpikir dengan cermat, bahkan menembus batasannya.

Selain hal-hal itu, Tim menyebutkan kunci lainnya, seperti upaya untuk memberikan rasa dimiliki atau sense of belonging, ikhtiar untuk mengajarkan hal-hal yang mendasar, kemampuan untuk bersatu dengan alam yang damai, dan masih banyak lagi. Bab terakhir buku ini berjudul unik: Jangan Lupa Bahagia! Ini merupakan tips pamungkas di penghujung buku.

Tim hendak menggarisbawahi bahwa esensi pendidikan yang sewajarnya berjalan seiring dengan prinsip universal hidup bagi masing-masing orang. Kebahagiaan diberi tempat yang utama dalam kurikulum di Finlandia. Orang Indonesia tentu sering mendengar banyak orang tua atau guru yang tergoda untuk "mencambuk" anak sendiri untuk bisa menguasai banyak hal di luar kemampuannya. Anak-anak pun bekerja dengan tanpa henti, belajar dengan tergesa-gesa. Akibatnya apa? Pendidikan berjalan dengan terpaksa sebab lebih seperti sebuah siksaan. Pendidikan menjadi tidak menyenangkan.

Di Finlandia sistem pendidikan yang membahagiakan menjadi fokusnya. Anak yang gembira mempelajari banyak hal dengan mudah dan menyenangkan.

Pentingnya Kualitas Guru Dalam Sistem Pendidikan di Finlandia

Salah satu elemen penting dalam pendidikan adalah guru karena ia yang bertugas untuk mengajar, mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi murid-muridnya di sekolah. Sehingga sekolah-sekolah harus memiliki guru yang berkualitas. 

Salah satu kunci Finlandia menjadi negara dengan predikat sistem pendidikan terbaik di dunia karena memiliki guru yang berkualitas. Menurut laporan The Guardian, guru-guru di Finlandia harus melalui seleksi dan pelatihan yang cukup ketat. Tak sembarang orang yang dipilih untuk menjadi guru di negara tersebut. Guru-guru dilatih agar dapat memilih metode apa yang akan mereka gunakan di dalam kelas. Guru-guru juga bebas dari persyaratan eksternal seperti adanya inspeksi, pengujian standar dan kontrol dari pemerintah. Finlandia sudah meniadakan proses inspeksi sekolah sejak tahun 1990-an. 

“Guru-guru harus memiliki pendidikan berkualitas sehingga mereka benar-benar tahu bagaimana menggunakan kebebasan yang diberikan kepadanya dan belajar memecahkan masalah dengan cara yang berbasis penelitian”, kata Leena Krokfors, profesor dari Helsinki University kepada The Guardian. Mengajar adalah profesi yang paling “dihormati” di Finlandia dan mengajar di sekolah dasar adalah karir yang paling dicari. Kualitas guru di Finlandia semakin tinggi karena banyak yang melamar menjadi guru adalah lulusan terbaik dari universitasnya, menurut Centre on International Education Benchmarking (CIEB). Sedangkan di Indonesia, kualitas guru masih rendah. Hal itu diketahui dari hasil tes kompetensi terhadap para guru yang menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Padahal kunci kesuksesan pendidikan ada di tangan guru.

Kualitas guru yang tinggi serta memiliki komunikasi yang baik dengan orang tua menjadi salah satu kunci bagi Finlandia untuk selalu berada di puncak sebagai negara dengan pendidikan terbaik di dunia sejak tahun 2000. 

Di Indonesia, kita masih kerap mendengar orangtua yang sibuk menyalahkan guru jika anaknya tak lulus sekolah. Di sisi lain, masih ada pula masalah struktural, misalnya kekurangan guru di daerah terpencil. Belum lagi honor dan tunjangan yang kerap terlambat diterima. Atau bahkan, dibanyak daerah, gaji yang tak bisa membuat guru hidup layak.

**Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Finlandia
- http://edukasi.kompas.com/read/2017/08/07/16293131/terbongkar--rahasia-sukses-pendidikan-di-finlandia-
- https://tirto.id/membedah-rahasia-kesuksesan-pendidikan-finlandia-cl8G

Pendidikan Karakter Dalam Teori Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan Karakter Dalam Teori Pendidikan Ki Hadjar Dewantara



Masih segar dalam ingatan kita bahwa "Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa" adalah sebuah tema yang diusung kementerian pendidikan dalam memperingati hari Pendidikan Nasional 2010. Sejak saat itu banyak ahli pendidikan, pengamat pendidikan, dan praktisi pendidikan mencoba menterjemahkan pendidikan karakter menurut versinya masing-masing. Lembaga pendidikan (baik sekolah maupun perguruan tinggi), berlomba untuk menterjemahkan pendidikan karakter itu dalam praksis pendidikan di lembaganya masing-masing. Sekolah mencirikan pendidikan karakter dengan pendidikan budipekerti. Perguruan tinggi melakukan kajian-kajian ilmiah dan mendalam tentang apa, mengapa, dan bagaimana pendidikan karakter dalam praksis pendidikan.

Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.

Penanaman nilai-nilai karakter juga dapat dilakukan melalui ekstra kurikuler. Penanaman nilai-nilai karakter melalui kegiatan ekstra kurikuler meliputi: pembiasaan akhlak mulia, kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), tata krama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, kepramukaan, upacara bendera, pendidikan pendahuluan bela negara, pendidikan berwawasan kebangsaan, UKS, PMR, serta pencegahan penyalahgunaaan narkoba.

Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.

Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara

Kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Kata ini menjadi semakin populer setelah Mendiknas RI mencanangkan pendidikan berbasis karakter pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2010. Mengapa pendidikan karakter baru dicanangkan sekarang?

Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter. Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).

Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budipekerti” atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.

Budipekerti, watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan “budipekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi teranglah di sini bahwa pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa.

Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12). Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.

Dari definisi pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci yaitu; "tumbuhnya jiwa raga anak" dan "kemajuan anak lahir-batin". Dari dua kalimat kunci tersebut dapat dimaknai bahwa manusia bereksistensi ragawi dan rokhani atau berwujud raga dan jiwa. Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa meliputi “ngerti, ngrasa,lan nglakoni” (cipta, rasa, dan karsa). Kalau digunakan dalam istilah psikologi, ada kesesuaiannya dengan aspek atau domain kognitif, domain emosi, dan domain psikomotorik atau konatif.

Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anakanak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti yang termaktub di muka, maka apa yang dikatakan kekuatan kodrati yang ada pada anak itu tidak lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuatan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

Dari konsepsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Ki Hadjar Dewantara ingin; a) menempatkan anak didik sebagai pusat pendidikan, b) memandang pendidikan sebagai suatu proses yang dengan demikian bersifat dinamis, dan c) mengutamakan keseimbangan antar cipta, rasa, dan karsa dalam diri anak.

Dengan demikian pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai 7 proses transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, menunjukkan kepada kita bahwa jauh hari Ki Hadjar Dewantara memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk karakter bangsa melalui pendidikan. Hanya sayangnya pada pekembangannya pendidikan justru kehilangan roh dan semangatnya, sehingga terjebak pada pencapaian target sempit, sehingga perwujudan karakter bangsa yang baik menjadi terabaikan.

Pendidikan Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan

Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripusat Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan yaitu; 1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda. Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang.

Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.

Ada beberapa hal yang menarik dalam keterangan Ki Hadjar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan yaitu;

  1. Keinsyafan Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja.
  2. Ketiga pusat pendidikan itu harus berhubungan seakrab-akrabnya serta harmonis.
  3. Bahwa alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan memberikan pendidikan budi pekerti, agama, dan laku sosial.
  4. Bahwa perguruan sebagai balai wiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan keterampilan.
  5. Bahwa alam pemuda (yang sekarang diperluas menjadi lingkungan/alam kemasyarakatan) sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak atau karakter dan kepribadiannya.
  6. Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara ialah usaha untuk menghidupkan, menambah dan memberikan perasaan kesosialan sang anak (Ki Gunawan, 1989: 36).

Pandangan yang demikian itu, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Justru dia memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengetahui kewajibannya masing-masing, atau kewajibannya sendiri-sendiri, dan mengakui hak pusat-pusat lainnya yaitu; alam keluarga untuk mendidik budipekerti dan laku sosial. Alam sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa secara seimbang. Sedangkan alam pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasan diri dalam pembentukan watak atau karakter.

Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.

**Referensi:
- http://staffnew.uny.ac.id/upload/131656343/penelitian/PENDIDIKAN+KARAKTER+MENURUT+KI+HAJAR+DEWANTORO.pdf

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang didalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.

Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga kerangka pikir ini.

Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli

1. Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

2. Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.

3. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).

4. Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).

Nilai-nilai dalam pendidikan karakter

Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.

Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.

Tujuan Pendidikan Karakter

Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan spiritual yang ideal. Foerster seorang ilmuan pernah mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter karena karakter merupakan suatu evaluasi seorang pribadi atau individu serta karakter pun dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi. Pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa harus bertentangan dengan norma yang berlaku. Pendidikan karakter pun dijadikan sebagai wahana sosialisasi karakter yang patut dimiliki setiap individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-luasnya bagi lingkungan sekitar. Pendidikan karakter bagi individu bertujuan agar:
  1. Mengetahui berbagai karakter baik manusia.
  2. Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter.
  3. Menunjukkan contoh perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Memahami sisi baik menjalankan perilaku berkarakter.

Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.

Kelemahan Pendidikan Karakter di Indonesia

Persoalan pendidikan karakter di Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikan moral dan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani. Guru/dosen pun cenderung mengarahkan prinsip moral umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya. Sejauh ini dalam proses pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada Pembentukan karakter individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnya pendidikan di Indonesia terlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga kelas satu. Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada moral dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakter individu contohnya Indonesia terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk seperti korupsi dengan moralitas yang lembek.

**Referensi:
- http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_karakter

Minggu, 22 Oktober 2017

Profesi Dibidang Kesenian

Profesi Dibidang Kesenian


Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Dan secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, segala macam aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan dari kesenian. Dalam aspek bermasyarakat, dalam bersosial, dalam urusan ibadah, termasuk dalam hal profesi ataupun pekerjaan, semuanya memiliki pertimbangan-pertimbangan estetik dalam praktek/pelaksanaannya. Nah, dalam hal profesi, praktik-praktik berkesenian paling banyak ditemukan disini. Salah satu bagian dari profesi dibidang kesenian adalah pendidikan kesenian.
Pendidikan kesenian bisa didapatkan melalui pendidik seni, pelatih seni, dan pengajar seni. Berikut adalah perbedaan antara pendidik seni, pelatih seni, dan pengajar seni:

1. Pendidik Seni
Pendidik berasal dari kata dasar “didik”, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Arti lain dari kata pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Berdasarkan definisi di atas maka dapat kita tarik benang merah bahwa didik/ mendidik/ pendidikan/Pendidik Seni adalah hal yang terkait dengan akhlak atau budi pekerti, bukan hanya melulu mengenai sebuah materi pelajaran dalam bidang seni saja.

2. Pelatih Seni
Pelatih berasal dari kata dasar “latih”, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) artinya orang yang memiliki pekerjaan melatih orang lain hingga mahir dalam suatu bidang tertentu. Jadi Pelatih seni adalah seseorang yang memiliki pekerjaan melatih orang lain hingga mahir dalam bidang seni.

3. Pengajar Seni
Pengajar berasal dari kata dasar “ajar”, dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) artinya petunjuk kepada orang supaya diketahui (dituruti). Dari sini dapat dipahami bahwa ajar; mengajar; pengajar seni adalah suatu tindakan untuk membuat orang lain mengerti tentang seni, atau paham akan sesuatu lainnya. Jadi kalau Anda menjadi seorang pengajar, berarti Anda wajib membuat orang lain mengerti akan hal yang Anda jelaskan pada mereka. Kalau belum, berarti Anda belum berhasil sebagai seorang pengajar.

  • Pelaku Seni dan Seniman
Pelaku Seni adalah seseorang yang pekerjaannya “melakukan kegiatan seni” atas sebuah kesenian yang telah diciptakan oleh seorang Seniman. Catatan : Kata “melakukan kegiatan seni” yang dimaksudkan disini sebagai contoh adalah ; menari dimana tarian yang diperagakan oleh sang penari adalah hasil kreasi seorang Koreografer (bukan kreasi penari itu sendiri). Contoh lain adalah Bintang Film, dimana dalam memerankan sebuah peran, mereka hanya menjalankannya sesuai dengan skenario yang telah ditentukan oleh sang sutradara, jadi status mereka adalah sebagai “Pemeran” atau dalam istilah yang populer biasa dipanggil dengan sebutan Aktris (yang dalam bahasa Inggris ditulis Actress).

Dengan demikian, berarti Artis itu tidak sama dengan Aktris, karena Artis adalah Seniman, sementara itu Aktris adalah Pemeran. Sedangkan menyangkut bentuk karya seni, dapat mencakup berbagai bidang diantaranya:
  1. Seni Rupa (Lukisan, patung, instalasi dan sebagainya)
  2. Seni Sastra (Puisi, Prosa dan sebagainya)
  3. Seni Arsitektur (Bangunan, Taman dan sebagainya)
  4. Seni Tari
  5. Seni Musik (Pop, Jazz, Kroncong, Gamelan, Dangdut dan sebagainya)
  6. Seni Peran (Sinetron, Film dan sebagainya)
  7. Seni Panggung (Wayang Orang, Drama, Teater dan sebagainya)
  8. Seni Kriya (Perhiasan Perak, Emas dan sebagainya)
Seniman adalah seseorang yang dengan imajinasinya, ia menciptakan*) dan melahirkan sebuah karya seni. Dalam istilah yang populer, seniman juga dipanggil dengan sebutan Artis (yang dalam bahasa Inggris ditulis Artist) Catatan: *) Kata “Menciptakan” disini menjadi mutlak, karena penekannya adalah pada aktifitas merangkai sesuatu, baik dari yang sudah ada maupun dari yang belum pernah ada, menjadi sesuatu yang baru dan mempunyai nilai sebagai karya seni.

  • Profesi yang berhubungan dalam bidang kesenian
Ketika berbicara tentang profesi di bidang seni, mungkin pikiran orang-orang akan merujuk pada seorang pelukis, penyanyi, penggubah lagu (composer) atau seniman lain yang menciptakan aneka karya seni lainnya. Padahal, profesi yang berhubungan dengan seni sebenarnya bukan saja yang disebutkan diatas. Definisi seni cukup luas dan bisa ditafsirkan secara bebas, memberikan ragam kreativitas yang dapat dijadikan profesi bagi mereka yang mencintai keindahan dan keselarasan.

Berikut 7 profesi yang berhubungan dalam bidang kesenian:
1. Art Director
Profesi ini akan menuntut seseorang menciptakan konsep dan rancangan (design) yang nantinya digunakan untuk berbagai kebutuhan iklan di media cetak, media elektronik, atau pun media outdoor. Para art director sangat ahli dalam membuat konsep yang secara visual bisa menarik perhatian publik, baik dari warna, bentuk, dan konten yang akan disampaikan.

2. Seniman Gerabah
Profesi ini memang tidak mainstream di Indonesia, tetapi cukup menantang untuk mereka yang memiliki bakat membuat gerabah yang bernilai seni tinggi. Apalagi banyak orang yang kini sangat menyukai perlengkapan gerabah untuk pajangan, alat rumah tangga dan lain-lain. Dijamin produk tersebut akan laris manis.

3. Seniman Tattoo
Tattoo merupakan seni masa lalu yang kini makin tren. Memiliki tato sudah lazim plus bagian dari seni dan keindahan. Untuk mendapatkan tatto bernilai seni yang tinggi dibutuhkan kerja keras seorang seniman tatto. Mereka tidak hanya harus bisa melukis, tetapi juga concern pada detail. Saking seriusnya, seorang seniman tattoo di luar negeri ternyata juga harus mengantongi sertifikat loh.

4. Copy Writer
Profesi yang satu ini mengharuskan seseorang bisa menulis dengan estetika tinggi plus bisa mempengaruhi pembacanya. Seorang copy writer sangat dibutuhkan di industri periklanan, perfilman, bahkan bisnis online marketing seperti saat ini. Makin berpengalaman seorang copy writer, maka makin mahal pula bayarannya.

5. Kartunis
Kartunis lebih dikenal sebagai pelukis kartun. Tugasnya memberikan kesan jenaka untuk tujuan menghibur, menyindir atau mengkritik suatu hal yang disampaikan pada pembacanya.
Kartunis lebih dikenal sebagai pelukis kartun. Tugasnya memberikan kesan jenaka untuk tujuan menghibur, menyindir atau mengkritik suatu hal yang disampaikan pada pembacanya.

6. Kurator Seni
Kurator adalah mereka yang mengurus, mengawasi dan juga ahli dalam hal warisan budaya atau seni. Kurator juga bertugas memilih dan mengurus objek museum dan karya seni yang akan dipamerkan. Tidak heran ada beragam jenis kurator, misalnya kurator spesialisasi lukisan, atau kurator yang ahli untuk benda peninggalan sejarah.

Menjadi kurator ternyata tidak mudah. Seseorang harus berpendidikan tinggi, minimal doktor atau magister dalam bidang sejarah, seni, arkeologi, dan antropologi.

Bukan hanya ahli soal benda seni dan sejarah, kurator juga harus tahu kode etik dan hukum yang berlaku.

7. Koreografer
Koreografi disebut sebagai komposisi tari yaitu seni merancang alur/struktur sehingga menjadi pola gerakan. Nah, orang yang berprofesi sebagai koreografer bertugas merancang koreografi agar menarik atau gerakannya sesuai dengan musik yang dimainkan.

Meskipun profesi ini khusus untuk tari, namun koreografer juga dibutuhkan dalam aktivitas lain seperti untuk pemadu sorak, marching band, atau opera.

**Referensi:
- http://www.qerja.com/journal/view/467-7-profesi-yang-berhubungan-dengan-seni/2/
-https://tubagusranggaefarasti.wordpress.com/2012/05/20/perbedaan-antara-pendidik-dan-pengajar/
- https://pandjipainting.wordpress.com/2011/04/11/seniman-pelaku-seni/

Sertifikasi Guru

SERTIFIKASI GURU


Tugas kependidikan yang diemban guru bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjaan itu memerlukan keprofesionalan khusus yang tidak sembarang orang memilikinya. Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan terhadap kualitas pelaksanaan tugas pendidik, mereka harus lulus sertifikasi guru. Hanya guru yang terjamin kualitasnya yang mampu mengelola pembelajaran dengan baik, sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan. Lalu, apa itu sertifikasi guru?

1. Definisi Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.

Ada juga yang disebut dengan "sertifikat pendidik", yaitu sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Mengapa disebut sertifikat pendidik bukan sertifikat guru? Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang bahwa Guru dan Dosen disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru, dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.

2. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi Guru
Sertifikasi Guru bertujuan untuk:
  1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
  2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.
  3. Meningkatkan martabat guru.
  4. Meningkatkan profesionalitas guru.
Adapun manfaat sertifikasi guru sbb:
  1. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
  2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.
  3. Meningkatkan kesejahteraan guru.

Sertifikasi guru dilakukan karena guru merupakan sebuah profesi layaknya profesi yang lain, seperti: dokter, akuntan, pengacara, sehingga proses pembuktian profesionalitas perlu dilakukan. Seseorang yang akan menjadi akuntan harus mengikuti pendidikan profesi akuntan terlebih dahulu. Begitu pula untuk profesi lainnya termasuk profesi guru.

Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang menyatakannya adalah Pasal 8: guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.

Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.

3. Peningkatan Kualitas Guru Melalui Sertifikasi Guru
Setelah dikeluarkannya sertifikasi guru, muncullah pertanyaan, "apakah sertifikasi guru kemudian menjamin peningkatan kualitas guru?"

Perlu dipahami bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru. Dan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14/2005, sertifikasi guru akan terus dilaksanakan sampai Undang-Undang tidak mengamanatkan pelaksanaan sertifikasi guru.

**Referensi:
- http://asepsupriadijayanaga.gurusiana.id/article/apa-itu-sertifikasi-guru-685056

Minggu, 08 Oktober 2017

Guru Profesional dan Non Profesional

Guru Profesional dan Non Profesional


Guru merupakan salah satu komponen penting dalam proses belajar mengajar. Seorang guru ikut berperan serta dalam usaha membentuk sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan.

A. Guru Profesional
Guru Profesional adalah guru yang memiliki komponen tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan. Guru profesional senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam interaksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkan kemampuan secara berkelanjutan, baik dalam segi ilmu yang dimilikinya maupun pengalamannya. Sedangkan Profesionalisme Guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran.

Guru yang profesional menjadi harapan kita semua, karena dengan adanya peningkatan kemampuan guru sehingga menjadi guru yang profesional diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan. Peserta didik perlu dididik dan dibina oleh guru-guru yang profesional sehingga kualitas/mutu yang dihasilkan akan lebih maksimal.

Guru profesional hendaknya memiliki empat kompetensi guru yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yaitu, kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Kita pun tentunya ingin menjadi guru profesional, akan tetapi banyak kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi guru yang profesional. Adapun kriteria-kriteria tersebut diantaranya;
  1. Mempunyai akhlak dan budi pekerti yang luhur sehingga mampu memberikan contoh yang baik pada anak didik.
  2. Mempunyai kemampuan untuk mendidik dan mengajar anak didik dengan baik.
  3. Menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam interaksi belajar mengajar
  4. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas.
  5. Menguasai berbagai administrasi kependidikan (RPP, Silabus, Kurikulum, KKM, dsb).
  6. Mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengabdikan ilmu yang dimiliki pada peserta didik.
  7. Tidak pernah berhenti untuk belajar dan mengembangkan kemampuannya.
  8. Mengikuti diklat dan pelatihan untuk menambah wawasan dan pengalaman.
  9. Aktif, kreatif, dan inovatif untuk mengembangkan pembelajaran dan selalu up to date terhadap informasi atau masalah yang terjadi di sekitar.
  10. Menguasai IPTEK (komputer, internet, blog, facebook, website, dsb).
  11. Gemar membaca sebagai upaya untuk menggali dan menambah wawasan.
  12. Tidak pernah berhenti untuk berkarya (membuat PTK, bahan ajar, artikel, dsb).
  13. Mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan orangtua murid, teman sejawat dan lingkungan sekitar dengan baik.
  14. Aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi kependidikan (KKG, PGRI, Pramuka).
  15. Mempunyai sikap cinta kasih, tulus dan ikhlas dalam mengajar.

B. Guru Non Profesional
Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi; misalnya sebutan dia seorang “professional“. Kedua penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini istilah profesional sering dipertentangkan dengan istilah non professional atau amatiran. Pasal 1 Bab I tentang ketentuan umum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005, Profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Yang dimaksud guru non profesional disini adalah guru yang mengajar pada disiplin ilmu tertentu namun guru tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan dari disiplin ilmu yang ia ajarkan. misalkan guru bahasa indonesia yang juga mengajar seni rupa atau seni budaya. Padahal ia tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam hal itu. Lalu, bagaimana menanggapi hal semacam ini?

Jadi kembali lagi pada pengertian profesionalisme tadi. Menurut Kunandar (2007) mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien.

Berdasarkan UU No.20/2003, Pasal 39 Ayat 2 bahwa guru merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan, dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi guru/pendidik pada perguruan tinggi. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain:

  • Sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih.
  • Pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki.
  • Sebagai petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru sebagai jabatan professional adalah orang yang bekerja di sebuah instansi atau lembaga yang memerlukan atau mempunyai kepandaian khusus untuk menjalankannya. Di sekolah-sekolah yang terakreditasi yang memiliki tenaga pengajar yang lengkap, dimungkinkan untuk setiap mata pelajaran diajarkan oleh seorang guru yang kompeten dan memang memiliki latar belakang pendidikan pada mata pelajaran yang diajari. Namun bagaimana dengan sekolah-sekolah yang baru berkembang, yang ada di pedesaan misalkan, yang tidak memiliki guru yang kompeten di bidangnya? maka fenomena "guru bahasa mengajar seni budaya" tidak terlalu dipermasalahkan. Sepanjang guru tersebut memenuhi empat kriteria dasar sebagai guru profesional, yakni kompetensi pedagogik, profesional.

Dengan demikian, banyak atau tidaknya guru profesional yang mengajar pada suatu mata pelajaran, diharapkan pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan dan kemajuan. Mau diapakan siswa dan seperti apa siswa kelak, itu semua ada di tangan para guru. Hendaknya kita sadar akan pentingnya profesi guru. Guru tidak hanya sekedar memberi ilmu saja, akan tetapi mampu mendidik akhlak siswa, mampu membimbing siswa untuk menemukan bakat dan kemampuannya, mengajari siswa untuk bersosialisasi dan bisa mengarahkan siswa untuk mencapai cita-citanya. Seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara bahwa seorang guru hendaknya “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani“, dimana guru harus dapat menempatkan diri sebagai teladan, penasihat, pembimbing dan motivator bagi anak didiknya. Tugas guru bukanlah tugas yang ringan karena di tangan kitalah nasib generasi penerus bangsa dipertaruhkan.


**Referensi:
- http://www.matrapendidikan.com/2014/04/kompetensi-dasar-guru-profesional.html
- https://ratnadewi87.wordpress.com/tag/pengertian-guru-profesional/

Sabtu, 30 September 2017

Peraturan Profesi Kependidikan


PERATURAN TENTANG PROFESI KEPENDIDIKAN



Didalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010, telah dijabarkan aturan terkait Program Pendidikan Profesi Guru Bagi Guru Dalam Jabatan, yaitu:

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

  1. Pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
  2. Program Pendidikan Profesi Guru bagi Guru Dalam Jabatan yang selanjutnya disebut program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik.
  3. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program PPG pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
  4. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
  5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
Pasal 2
Program PPG bertujuan untuk menghasilkan guru profesional yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan.

Pasal 3
(1) Program PPG diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Menteri.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. memiliki program studi kependidikan strata satu (S-1) yang: 1) sama dengan program PPG yang akan diselenggarakan; 2) terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan nilai minimal B; 3) memiliki dosen tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang berkualifikasi doktor (S3) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor, dan 4 (empat) orang berkualifikasi Magister (S2) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor Kepala berlatar belakang pendidikan sama dan/atau sesuai dengan program PPG yang akan diselenggarakan; 4) Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada angka 3) minimal salah satu latar belakang pendidikannya adalah bidang kependidikan. 
b. memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk menunjang penyelenggaraan program PPG; 
c. memiliki program peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional atau yang sejenis dan berfungsi efektif; 
d. memiliki program dan jaringan kemitraan dengan sekolah-sekolah mitra terakreditasi paling rendah B dan memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan program pengalaman lapangan (PPL); 
e. memiliki laporan evaluasi diri dan penjaminan mutu berdasar fakta, sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir. 

(3) Dalam hal belum ada program studi yang terakreditasi atau dalam hal belum ada program studi yang sesuai dengan mata pelajaran di satuan pendidikan dasar dan menengah, Menteri dapat menetapkan perguruan tinggi penyelenggara PPG untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki sumber daya yang relevan dengan program studi tersebut.

(4) Dalam hal tidak ada LPTK yang menyelenggarakan program studi tertentu yang diperlukan, Menteri dapat menetapkan LPTK sebagai penyelenggara PPG untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi/fakultas yang memiliki program studi yang sama dengan bidang studi tersebut dan terakreditasi paling rendah B. 

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 4
  1. Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG didasarkan atas hasil evaluasi dokumen usulan dan verifikasi lapangan yang dilakukan oleh tim yang ditugaskan Direktur Jenderal. 
  2. Penetapan LPTK sebagai penyelenggara program PPG dilakukan oleh Menteri untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
  3. LPTK penyelenggara program PPG dievaluasi secara berkala oleh tim yang ditugaskan Direktur Jenderal.
Pasal 5
Struktur kurikulum program PPG terdiri atas: 
a. pendidikan bidang studi (subject specific pedagogy/SSP) yang mencakup standar kompetensi, materi, strategi, metoda, media, dan evaluasi; 
b. program pengalaman lapangan (PPL) kependidikan.

Pasal 6
Bidang keahlian yang ditempuh peserta didik pada program PPG harus berkesesuaian dengan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampu.

Pasal 7
  1. Kualifikasi akademik peserta didik program PPG bagi guru dalam jabatan adalah S-1/D-IV. 
  2. Peserta didik yang berasal dari S-1/D-IV yang tidak sesuai dengan satuan pendidikan, mata pelajaran yang diampu dan/atau yang berdasarkan hasil seleksi dan penilaian pengakuan pengalaman kerja dan hasil belajar (PPKHB) belum memenuhi standar, menempuh pendalaman akademik bidang studi dan/atau akademik kependidikan.
  3. Pendalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan program PPG. 
Pasal 8
  1. LPTK penyelenggara melakukan seleksi penerimaan peserta didik program PPG.
  2. Hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh LPTK penyelenggara kepada Direktur Jenderal.
Pasal 9
  1. Kuota jumlah penerimaan peserta didik secara nasional ditetapkan oleh Menteri.
  2. LPTK tidak diperbolehkan menerima peserta didik program PPG di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Setiap peserta didik program PPG diberi Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) oleh LPTK yang selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal. 
Pasal 10
  1. Beban belajar program PPG ditetapkan berdasarkan latar belakang pendidikan/keilmuan peserta didik program PPG dan satuan pendidikan tempat penugasan.
  2. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 PGTK dan PGPAUD, adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester. 
  3. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 PGSD adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
  4. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik selain S-1/D-IV Kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
  5. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1 Psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
  6. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Kependidikan selain SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
  7. Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi guru pada satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, baik yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Kependidikan maupun yang berkualifikasi akademik S-1/D-IV Non Kependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai penjabaran beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) ke dalam distribusi mata kuliah sesuai struktur kurikulum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur oleh LPTK yang bersangkutan.
Pasal 11
  1. Sistem pembelajaran pada program PPG mencakup kegiatan workshop SSP, praktikum (peer teaching, micro teaching, bidang studi), dan praktek pengalaman lapangan yang diselenggarakan dengan supervisi langsung secara intensif oleh dosen yang ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut, serta dinilai secara objektif dan transparan.
  2. Workshop SSP, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan program PPG dilaksanakan secara tatap muka dan berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Pasal 12
  1. Uji kompetensi dalam rangka memperoleh sertifikat pendidik dilaksanakan oleh program studi/jurusan yang dikoordinasikan LPTK penyelenggara program PPG.
  2. Uji kompetensi sebagai ujian akhir terdiri dari ujian tulis dan ujian kinerja, ditempuh setelah peserta lulus workshop SSP dan PPL.
  3. Ujian tulis dilaksanakan oleh program studi/jurusan penyelenggara, sedangkan ujian kinerja dilaksanakan oleh program studi/jurusan dengan melibatkan organisasi profesi dan/atau pihak eksternal yang profesional dan relevan.
  4. Peserta yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat pendidik yang dikeluarkan oleh LPTK.
Pasal 13
  1. Dosen pada program PPG memiliki kualifikasi akademik paling rendah Magister (S-2), dan minimal salah satu strata pendidikan setiap dosen berlatar belakang bidang kependidikan sesuai dengan bidang studi yang diampunya.
  2. Dosen pada program PPG kejuruan selain memiliki kualifikasi akademik paling rendah Magister (S-2), dan minimal salah satu strata pendidikan setiap dosen berlatar belakang bidang kependidikan sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diampunya, serta diutamakan yang memiliki sertifikat keahlian kejuruan.
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27April 2010


**Referensi:
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/11/Permen09-2010.pdf

Kode Etik, Sikap Profesional dan Pegembangannya

KODE ETIK, SIKAP PROFESIONAL dan PENGEMBANGANNYA


1. Kode Etik
a. Pengertian
Kode etik adalah hal yang mutlak dimiliki oleh setiap profesi. Profesi seperti dokter, wartawan, notaris, termasuk juga guru memiliki kode etik khusus. Sama halnya dengan kata profesi, maka penafsiran kode etikpun belum memiliki satu tafsir. Menurut UU no.20 pasal 43, kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Sedangkan menurut Prof. Dr. R Soebekti, S.H. mengatakan kode etik suatu profesi berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh orang-orang yang menjalankan tugas profesi tersebut.

Kode etik suatu profesi berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-larangan yaitu hal-hal yang tidak boleh diperbuat oleh mereka, tidak saja menyangkut dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di masyarakat.

b. Tujuan Kode Etik

  1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. Dalam hal ini yang dijaga adalah “image” dari pihak luar atau masyarakat agar jangan sampai “orang luar” memandang rendah atau remeh profesi tersebut.
  2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota baik berupa materiil maupun spiritual/mental. Misalnya dengan menetapkan tarif minimum bagi guru honorer.
  3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian generasi tertentu, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugas profesinya.
  4. Untuk meningkatkan mutu profesi. Kode etik juga memuat norma-norma tentang anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha meningkatkan mutu para anggotanya sesuai dengan bidang pengabdiannya.
c. Penetapan Kode Etik
Kode etik ditetapkan oleh organisasi suatu perkumpulan atau perserikatan suatu profesi untuk para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi suatu profesi. Penetapan kode etik profesi tidak bisa sembarangan dan tidak bisa dilakukan oleh perseorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut, sehingga orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut tidak dapat ditundukkan padanya. Maka kode etik dari suatu organisasi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin dikalangan profesi tersebut, jika orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung dalam organisasi tersebut.

d. Sanksi Melanggar Kode Etik
Dapat kita jumpai bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik saja dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Pencampuran tersebut bersifat memberikan sanksi-sanksi hukum yang memaksa, baik pidana ataupun perdata. Sanksi pada dasarnya merupakan upaya pembinaan kepada suatu profesi yang melakukan pelanggaran dan juga untuk menjaga harkat dan martabat profesi tersebut.

e. Kode Etik Guru di Indonesia
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara. Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.

Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.

Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air. Pertama kali ditetapkan dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973 dan kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI XX tahun 2008 di Palembang.

2. Sikap Profesional dan Pengembangannya
Sikap atau attitude adalah cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Thurstone (dalam Azwar) menjelaskan sikap adalah sederet efek positif atau efek negatif yang dikaitkan dengan suatu objek psikologis. Dijelaskan pula sikap adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dua alternatid, yaitu senang dan tidak senang.

Dalam hal ini , bagaimanakah sikap guru terhadap berbagai faktor yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Sikap profesional yang harus dimiliki guru termuat di Kode Etik Guru Indonesia Bagian 2 Pasal 6 yang menjelaskan sikap guru dalam berhubungan dengan berbagai pihak.

1. Hubungan Guru Dengan Peserta Didik
  1. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tuga didik, mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih,menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
  2. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
  3. Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
  4. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
  5. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
  6. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
  7. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
  8. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
  9. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
  10. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
  11. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
  12. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
  13. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
  14. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi serta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
  15. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionallnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
  16. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
2. Hubungan Guru Dengan Orang Tua/Wali Siswa
  1. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan Orangtua/Wali siswa dalam melaksannakan proses pedidikan.
  2. Guru mrmberikan informasi kepada Orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik.
  3. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya.
  4. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpatisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
  5. Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.
  6. Guru menjunjunng tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasin dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
  7. Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
3. Hubungan Guru Dengan Masyarakat
  1. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.
  2. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembnagkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
  3. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
  4. Guru berkerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.
  5. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya
  6. Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.
  7. Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.
  8. Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan masyarakat.
4. Hubungan Guru Dengan Sekolah
  1. Guru memelihara dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
  2. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.
  3. Guru menciptakan melaksanakan proses yang kondusif.
  4. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah.
  5. Guru menghormati rekan sejawat.
  6. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat
  7. Guru menjunung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.
  8. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profesional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.
  9. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesionalberkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran
  10. Guru membasiskan diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.
  11. Guru memliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran.
  12. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
  13. Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyaan keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
  14. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat pribadi dan profesional sejawatnya
  15. Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarnya.
  16. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
  17. Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.
5. Hubungan Guru Dengan Profesi
  1. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi
  2. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi yang diajarkan
  3. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya
  4. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggungjawab atas konsekuensiinya.
  5. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindkan-tindakan profesional lainnya.
  6. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
  7. Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan proesionalnya
  8. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.
6. Hubungan Guru Dengan Organisasi Profesinya
  1. Guru menjadi anggota aorganisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.
  2. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan
  3. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.
  4. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
  5. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
  6. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensis organisasi profesinya.
  7. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
  8. Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Hubungan Guru Dengan Pemerintah
  1. Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan Perundang-Undang lainnya.
  2. Guru membantu Program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan berbudaya.
  3. Guru berusaha menciptakan, memeliharadan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD1945.
  4. Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.
  5. Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.
Pengembangan sikap profesional diperlukan untuk meningkatkan mutu, baik mutu profesional, maupun mutu layanan. Sikap guru dalam berhubungan dengan berbagai pihak yang sudah dijelaskan sebelumnya harus selalu dipupuk dan dikembangkan. Pengembangan sikap profesiaonal ini dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun saat bertugas/dalam jabatan.

**Referensi: